12 Juni 2009

Jadikan Pajak Alat Kampanye, Kampanye Barack Obama tentang Pajak Mampu Meraih Dukungan Rakyat

Sampai saat ini kampanye calon presiden (capres) belum menyinggung masalah perpajakan sebagai salah satumaterinya. Dialog capres dengan Kadin (18 Mei) lebih fokus pada agenda pertumbuhan ekonomi, belum menyentuh sama sekali kepada materi perpajakan. Dalam dialog dunia usaha dengan capres pada 2004, reformasi pajak justru menjadi agenda utamaekonomi para capres saat itu (2 Agustus 2004). Mengapa sampai saat ini para capres belum memunculkan pajak sebagai alat kampanyenya? Tulisan ini mencoba mengupas lebih dalam urgensi pajak sebagai alat kampanye para capres.


Benang merah yang dapat ditarik dari hasil diskusi capres dengan Kadin beberapa waktu lalu adalah para capres menargetkan terjadi pertumbuhan ekonomi apabila mereka terpilih kelak. Capres Jusuf Kali optimistis dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2011, capres Susilo Bambang Yudhoyono lebih konservatif dengan menargetkan pertumbuhan 7% sedangkan capres Megawati optimistis pertumbuhan dapat mencapai dua digit.

Kalau melihat struktur dan statistik pertumbuhan ekonomi saat ini, sangat dimungkinkan sekali para capres untuk menyusun skenario pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan faktor konsumsi (pemerintah dan rumah tangga), investasi (pembentukan modal tetap bruto) dan neraca ekspor-impor.

Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2009 mencapai 4,4%, dengan komponen utama pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga sebesar 3,4%, disusul konsumsi pemerintah sebesar 1,2% dan investasi sebesar 0.8%.

Nah, kebijakan perpajakan merupakan satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Melalui peningkatan tax ratio, maka penerimaan pajak yang besar akan dapat digunakan secara leluasa untuk peningkatan pengeluaran pemerintah [government spending). Kebijakan pemotongan pajak (tax cut) juga akan memberikan dampak pada meningkatnya konsumsi rumah tangga, investasi (pembentukan modal tetap bruto) dan neraca ekspor-impor.

Para capres dapat menawarkan peningkatan tax ratio dalam kampanyenya. Tentunya, peningkatan far ratio yang dimaksud diperoleh melalui peningkatan penerimaan pajak melalui perluasan basis pajak (tax base).

Artinya, dengan jumlah wajib pajak yang terus meningkat, per 31 Maret 2009 sebanyak 11.167 juta wajib pajak (WP), maka tambahan penerimaan pajak sangat mungkin terjadi. Ditambah lagi kondisi pencapaian tax ratio saat ini dapat dijadikan peluang bagi capres untuk menawarkan program peningkatan tax ratio.

Produk domestik bruto (PDB) triwulan I 2009 mencapai Rpl.300,3 triliun (BPS. 2009) dengan penerimaan pajak Rpl73,l trilun (uoiw.pajak.go.irf), maka tax ratio triwulan I 2009 mencapai 13.3%. Diperkirakan pada 2009 ini PDB Indonesia akan mencapai Rp5.487,6 triliun dengan rencana penerimaan pajak (PPh, PPN, PBB dan pajak lainnya) sebesar Rp647,9 triliun (APBN 2009, www.fiskal.dep-keu.go.id). maka diperkirakantax ratio mencapai 11,8%.

Pemotongan pajak


Kampanye Barack Obama tentang kebijakan pajak mampu menarik rakyat AS untuk mendukungnya. Tidak salah kalau para capres juga melirik kebijakan pajak ala Obama tersebut. Dia menawarkan pemotongan pajak (tax cut) bagi penduduk kelas menengah sebesar US$736 miliar dan UKM sebesar US$100 miliar, sebaliknya mengenakan pajak yang lebih tinggi kepada orang kaya. Dengan kebijakan ini, setiap keluarga kelas menengah akan hemat US$800 setiap tahunnya.

Sebagai respons dari krisis global, pemerintah menerapkan stimulus fiskal yang terdiri dari pemotongan pajak (tax cut) dan pengeluaran pemerintah (government spending). Pemotongan pjak memiliki porsi yang terbesar dari paket kebijakan fiskal tersebut, yaitu sebesar Rp43,0 triliun dari total Rp73,3 triliun, yang meliputi penurunan tarif dan peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Peluang para capres untuk mengkampanyekan pemotongan pajak masih terbuka. Walaupunjak bersifat progresif, dimana lapisan penghasilan tertentu akan dikenakan tarif pajak tertentu, tetapi peluang untuk menaikkan tarif dan menurunkan tarif pada lapisan tertentu masih memungkinkan.

Terlebih, kebijakan penurunan tarif sesuai UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan bersifat keseluruhan, tanpa membedakan kelompok penghasilan tertentu (kaya, menengah atau miskin).

Kalaupun capres berkampanye untuk memotong pajak bagi orang dengan penghasilan me-nengah dan miskin, tetapi menaikkan pajak bagi wajib pajak orang kaya, penulis yakin tentunya banyak pihak yang akan pro dan kontra. Namun, isu pemotongan pajak setidaknya mampu menarik perhatian masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Self campaign


Cara termudah untuk memanfaatkan pajak sebagai alat kampanye capres adalah dengan memublikasikan sendiri pajak yang telah dibayar capres terse- but. Masyarakat luas sudah tahu jumlah harta kekayaan para capres tersebut seperti yang dipublikasikan oleh KPK beberapa waktu lalu, tetapi masyarakat belum tahu bagaimana pembayaran pajaknya.

Inilah kesempatan emas bagi capres untuk mengampanyekan diri sendiri dengan menyatakan setiap penghasilan yang diperolehnya sudah dibayar pajaknya dan setiap harta yang dimilikinya (elah dilaporkan dalam SPT tahunannya.

Penulis yakin bahwa apabila ada capres yang mengumumkan secara terbuka tentang pembayaran pajak dan hartanya, kampanye ini akan lebih efektif dan efisien serta mampu memberikan efek salju yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Sebagai rakyat yang bayar pajak, tentunya tidak ingin memilih pemimpin yang tidak bayar pajak.

Penulis pernah menjumpai kasus di mana seorang kepala daerah berkampanye akan menghapuskan pungutan pajak (PBB). Nah, ketika terpilih, sang kepala daerah menjadi pusing mewujudkan janji kampanyenya karena penghapusan PBB di luar batas wewenangnya.

Untuk itulah, setiap janji kampanye tentang pajak setidaknya harus dipahami dan dianalisis mendalam sehingga dapat direalisasikan.



Sumber : Bisnis Indonesia
Oleh Chandra Budi
Staf Direktorat Jenderal Pajak
Departemen Keuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar